Menurut
Behaviorisme, berpikir merupakan
penguatan antara stimulus dan respons. Menurut Asosiasionis, berpikir merupakan asosiasi antara tanggapan yang
satu dengan yang lain. Dari segi Kognisi,
berpikir merupakan pemrosesan informasi dari stimulus yang ada (starting position) sampai ke pemecahan
masalah (finishing position atau goal state). Berpikir yang kadangkala
dipandang sebagai penalaran, meliputi proses mental yang digunakan untuk
membentuk konsep, memecahkan masalah, dan ikut serta melakukan
aktivitas-aktivitas kreatif.
Simbol
yang digunakan dalam berpikir pada umumnya adalah kata-kata atau bahasa. Bahasa
hanya merupakan salah satu alat. Masih ada alat lain, yaitu image (gambaran)
atau yang biasa disebut dengan Visual
Map/ Cognitive Map. Selanjutnya ada fungsi dari sebuah konsep, menurut
Plotnik, yang dijalankan dengan dua macam fungsi, yaitu:
a. Organize
Information:
Konsep yang
memungkinkan anak dalam mengelompokkan segala sesuatu ke dalam
kategori-kategori dan mengorganisasikannya secara lebih baik kemudian menyimpan
informasi tersebut ke dalam memori.
b. Avoid
Relearning:
Anak dapat
dengan mudah mengklasifikasikan atau mengelompokkan sesuatu yang baru tanpa
mempelajari ulang sesuatu tersebut.
Menurut Walgito (1980: 180) dalam pemecahan masalah, subjek diarahkan untuk
mencari pemecahan masalah dan dipacu untuk mencapai pemecahan tersebut. Jadi,
pemecahan masalah (problem solving)
merupakan tugas subjek untuk menemukan cara memecahkan masalah. Sementara menurut
Plotnik, pemecahan masalah meliputi
pencarian beberapa aturan (kaidah), rencana atau strategi yang membuat kita
berhasil mencapai satu tujuan yang sekarang belum tercapai. Jadi, pemecahan
masalah ada dua aturan, yaitu:
a.
Kaidah
Algoritma:
Suatu perangkat
kaidah atau aturan yang apabila aturan ini diikuti dengan benar, maka akan ada
jaminan keberhasilan pemecahan masalah.
b.
Kaidah
Horistik:
Strategi yang didasarkan pada
pengalaman dalam menghadapi masalah yang mengarah pada pemecahan masalah, walaupun
tidak ada jaminan akan kesuksesan.
Ciri-ciri
utama dalam berpikir adalah adanya abstraksi. Abstraksi dalam hal ini berarti
anggapan lepasnya kualitas atau relasi dari benda-benda, kejadian-kejadian dan
situasi-situasi yang mula-mula dihadapi sebagai kenyataan. Sebagai contoh, kita
lihat sebungkus rokok, rokok itu sebuah benda yang konkrit. Jika kita pandang
hanya warna bungkus rokok itu, maka warna isi kita lepaskan dari semua yang ada
pada sebungkus rokok itu (bentuknya, rasanya, beratnya, baunya, dan sebagainya).
Mula-mula warna itu hanya pada benda konkrit yang kita hadapi dan merupakan
bagian dari keutuhan yang tidak dapat dilepaskan. Sekarang warna itu sendiri
kita pandang, dan kita pisahkan dari keseluruhan bungkus rokok. Dengan demikian
dalam arti luas kita dapat mengatakan bahwa berpikir adalah bergaul dengan
abstraksi-abstraksi. Dalam arti yang sempit, berpikir adalah meletakkan atau
mencari hubungan pertalian antara abstraksi-abstraksi. Berpikir erat
hubungannya dengan daya-daya jiwa yang lain, seperti dengan tanggapan, ingatan,
pengertian, dan perasaan. Tangapan memegang peranan penting dalam berpikir
meskipun ada kalanya dapat mengganggu jalannya berpikir.
Ingatan
merupakan syarat yang harus ada dalam berpikir, karena memberikan
pengalaman-pengalaman dari pengamatan yang telah lampau. Pengertian meskipun
hasil berpikir dapat memberi bantuan yang besar pula dalam suatu proses
berpikir. Perasaan selalu menyertai pula, ia merupakan dasar yang mendukung
suasana hati atau sebagai pemberi keterangan dan ketekunan yang dibutuhkan
untuk memecahkan masalah.
Perkembangan
kemampuan berpikir dan berbahasa pada anak berjalan secara bersamaan, karena
salah satu hasil kemamapuan berpikir adalah berbahasa. Piaget mengelompokkan tahap-tahap perkembangan kognitif menjadi
empat tahap, yaitu:
1.
Tahap
Sensorimotor (0-2 tahun):
Pada tahap ini,
kegiatan intelektual anak hampir seluruhnya merupakan gejala yang diterima
secara langsung melalui indera. Pada saat anak mencapai kematangan dan secara
perlahan mulai memperoleh keterampilan berbahasa, mereka menerapkannya pada
objek-objek yang nyata. Pada tahap ini anak mulai memahami hubungan antara
benda dengan nama benda tersebut.
Piaget membagi sensorimotor menjadi
enam subtahap, yaitu:
a) Refleks Sederhana (0-1 bulan)
b) Kebiasaan (1-4 bulan)
c) Reproduksi Kejadian yang Menarik(4-8 bulan)
d) Koordinasi Skemata(8-12 bulan)
e) Eksperimen (12-18 bulan)
f) Representasi (18-24 bulan)
2.
Tahap
PraOperasional (2-7 tahun):
Perkembangan
yang pesat dialami oleh anak pada tahap ini. Anak semakin memahami
lambang-lambang bahasa yang digunakan untuk menunjukkan benda-benda. Keputusan
yang diambil hanya berdasarkan intuisi, bukan atas dasar analisis rasional.
Kesimpulan yang diambil merupakan kesimpulan dari sebagian kecil yang
diketahuinya, dari suatu keseluruhan yang besar. Anak akan berpendapat bahwa
pesawat terbang berukuran kecil karena itulah yang mereka lihat di langit
ketika ada pesawat terbang yang lewat.
3.
Tahap
Operasional Konkret (7-11 tahun):
Pada tahap ini
anak mulai berpikir logis dan sistematis untuk mencapai pemecahan masalah.
Masalah yang dihadapi dalam tahap ini bersifat konkret. Anak akan merasa
kesulitan bila menghadapi masalah yang bersifat abstrak. Pada tahap ini anak
menyukai soal-soal yang telah tersedia jawabannya.
4.
Tahap
Operasional Formal (11 tahun ke atas):
Anak mencapai
tahap perkembangan ini ditandai dengan pola pikirnya yang seperti orang dewasa.
Anak telah dapat menerapkan cara berpikir terhadap permasalahan yang konkret maupun
abstrak. Pada tahap ini anak sudah dapat membentuk ide-ide dan berpikir tentang
masa depan secara realistis.
Menurut
Plotnik (2005: 312), bahasa adalah bentuk komunikasi khusus
yang meliputi penggunaan kaidah-kaidah pembelajaran yang kompleks untuk
menyusun dan mengombinasikan simbol-simbol (kata-kata atau gerak isyarat) ke
dalam sejumlah tak terbatas kalimat-kalimat yang bermakna. Sistem-sistem
aturan bahasa, meliputi:
a. Fonologi, yaitu satuan bunyi terkecil
yang terdapat dalam bahasa.
b. Morfologi, yaitu sistem mengenai
satuan-satuan bermakna yang digunakan untuk membentuk kata.
c. Sintaksis, yaitu sistem mengenai cara
mengombinasikan kata-kata untuk membentuk frase dan kalimat yang masuk akal.
d. Semantik, yaitu sistem mengenai makna
kata atau kalimat.
e. Pragmatik, yaitu sistem mengenai cara
menggunakan percakapan yang sesuai dan pengetahuan mengenai cara menggunakan
bahasa secara efektif sesuai konteksnya.
Menurut
Pinker (1994) dalam kenyataannya
perkembangan bahasa semua anak tidak tergantung budaya atau bahasa, melewati
tahap-tahap yang sama, yaitu: Babbling
(ocehan atau celotehan), Single Word
(kata tunggal), Two-Word Combinations
(kombinasi dua kata), Sentences (kalimat-kalimat).
Gangguan
keterlambatan bicara adalah istilah yang dipergunakan untuk mendeskripsikan
adanya hambatan pada kemampuan bicara dan perkembangan bahasa pada anak-anak,
tanpa disertai keterlambatan aspek perkembangan lainnya. Pada umumnya mereka
mempunyai perkembangan intelegensi dan sosial-emosional yang normal. Menurut
penelitian, problem ini terjadi atau dialami 5-10% anak-anak usia prasekolah
dan lebih cenderung dialami oleh anak laki-laki dari pada perempuan. Pada
kasus-kasus tertentu, hambatan berbicara dan berbahasa terlihat dari
adanya hambatan dalam menulis. Adapun penyebab dari keterlambatan bicara ini
disebabkan oleh beragam faktor, seperti:
1. Hambatan
Pendengaran
Pada beberapa
kasus, hambatan pada pendengaran berkaitan dengan keterlambatan bicara. Jika si
anak mengalami kesulitan pendengaran, maka dia akan mengalami hambatan pula
dalam memahami, meniru dan menggunakan bahasa. Salah satu penyebab gangguan
pendengaran anak adalah karena adanya infeksi telinga.
2. Hambatan
Perkembangan pada Otak yang Menguasai Kemampuan Oral-Motor
Ada kasus
keterlambatan bicara yang disebabkan adanya masalah pada area oral-motor di
otak sehingga kondisi ini menyebabkan terjadinya ketidakefisienan hubungan di
daerah otak yang bertanggung jawab menghasilkan bicara. Akibatnya, si anak
mengalami kesulitan menggunakan bibir, lidah bahkan rahangnya untuk
menghasilkan bunyi kata tertentu.
3. Masalah
Keturunan
Masalah
keturunan sejauh ini belum banyak diteliti korelasinya dengan etiologi dari
hambatan pendengaran. Namun, sejumlah fakta menunjukkan pula bahwa pada
beberapa kasus di mana seorang anak anak mengalami keterlambatan bicara,
ditemukan adanya kasus serupa pada generasi sebelumnya atau pada keluarganya.
Dengan demikian kesimpulan sementara hanya menunjukkan adanya kemungkinan
masalah keturunan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi.
4. Masalah
Pembelajaran dan Komunikasi dengan Orang Tua
Masalah
komunikasi dan interaksi dengan orang tua tanpa disadari memiliki peran yang
penting dalam membuat anak mempunyai kemampuan berbicara dan berbahasa yang
tinggi. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa cara mereka berkomunikasi
dengan si anak lah yang juga membuat anak tidak punya banyak perbendaharaan
kata-kata, kurang dipacu untuk berpikir logis, analisa atau membuat kesimpulan
dari kalimat-kalimat yang sangat sederhana sekali pun. Sering orang tua malas
mengajak anaknya bicara panjang lebar dan hanya bicara satu dua patah kata saja
yang isinya instruksi atau jawaban sangat singkat. Selain itu, anak yang tidak
pernah diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri sejak dini (lebih banyak
menjadi pendengar pasif) karena orang tua terlalu memaksakan dan
"memasukkan" segala instruksi, pandangan mereka sendiri atau
keinginan mereka sendiri tanpa memberi kesempatan pada anaknya untuk memberi
umpan balik, juga menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan bicara,
menggunakan kalimat dan berbahasa.
5. Faktor
Televisi
Anak batita yang
banyak nonton TV cenderung akan menjadi pendengar pasif, hanya menerima
tanpa harus mencerna dan memproses informasi yang masuk. Belum lagi suguhan
yang ditayangkan berisi adegan-adegan yang seringkali tidak dimengerti oleh
anak dan bahkan sebenarnya traumatis (karena menyaksikan adegan perkelahian,
kekerasan, seksual, atau pun acara yang tidak disangka memberi kesan yang
mendalam karena egosentrisme yang kuat pada anak dan karena kemampuan kognitif
yang masih belum berkembang). Akibatnya, dalam jangka waktu tertentu yang mana
seharusnya otak mendapat banyak stimulasi dari lingkungan/orang tua untuk
kemudian memberikan feedback kembali, namun karena yang lebih banyak
memberikan stimulasi adalah televisi (yang tidak membutuhkan respon apa-apa
dari penontonnya), maka sel-sel otak yang mengurusi masalah bahasa dan bicara
akan terhambat perkembangannya.
Sumber:
- Basuki, H. (2008). Psikologi
Umum. Jakarta: Universitas Gunadarma.
- Mulyani Sumantri dan Nana
Syaodih. (2006). Perkembangan Peserta
Didik. Jakarta: Universitas Terbuka.
- Santrock, W. John. (2012). Life Span Development-13th ed.. Jakarta:
Erlangga.