Minggu, 15 November 2015

Pengaruh Internet Bagi Perkembangan Anak



Dewasa ini banyak sekali anak kecil yang sudah “dipercaya” untuk memilki gadget keluaran anyar yang sangat canggih. Namun, perlu disadari juga bahwa peran orang tua masih sangatlah penting untuk pembentukan karakter seorang anak. Banyak anak-anak yang diberi gadget dan orang tua seakan lupa dengan perannya karena merasa gadget sudah sangat mewakili dalam mengajari anak belajar misalnya. Biasanya orang tua memberikan gadget dan memberi anak-anak tersebut aplikasi atau konten yang pantas untuk anak, lalu orang tua sibuk dengan tugasnya masing-masing tanpa memperhatikan apa yang si anak butuhkan.

Sebenarnya saya cukup prihatin dengan perkembangan anak di zaman sekarang ini. Banyak anak yang perkembangannya kurang matang di masanya. Saya ambil contoh pada perkembangan motorik anak usia 3 tahun, biasanya anak-anak gemar melakukan gerakan-gerakan sederhana, seperti melompat serta berlari kesana-kemari; hal tersebut dilakukan untuk sekedar menyenangkan hati ketika menampilkan hal tersebut. Aktvitas pada anak usia 3 tahun tersebut dapat menjadi sumber kebanggaan dan prestasi yang cukup berarti jika dibandingkan dengan hanya bermain gadget. Pada usia ini, biasanya anak-anak juga senang bermain puzzle sederhana, ia masih meletakkan potongan-potongan itu dengan agak kasar. Bahkan ketika mereka belum mampu meletakkannya dengan benar, sering kali mereka terus mencoba meletakkan potongan puzzle tersebut dengan penuh semangat. Pada usia 4 tahun, anak-anak masih menikmati berbagai aktivitas sejenis, namun pada usia ini biasanya akan lebih berani. Dan koordinasi motorik halus pada anak usia 4 tahun sudah dapat memperlihatkan kemajuan yang bersifat substansial dan ia juga menjadi lebih cermat. Sedangkan pada anak usia 5 tahun, anak-anak mengembangkan jiwa petualang yang lebih besar lagi, si anak mulai mampu berlari kencang dan gemar berlomba dengan kawan-kawan sebaya maupun orang tuanya.  Koordinasi motorik halus pada usia ini telah memperlihatkan kemajuan yang lebih jauh lagi. Tangan, lengan, dan tubuh, semuanya bergerak bersama di bawah komando mata.

Bila dilihat untuk jam tidur si kecil, para ahli merekomendasikan agar anak-anak tidur selama 11-13 jam setiap malam (National Sleep Foundation, 2010). Sebagian besar anak-anak kecil tidur sepanjang malam dan satu kali tidur siang. Tidak hanya waktu tidur yang penting bagi anak-anak, tapi juga tidur yang tidak terganggu. Studi terbaru lainnya mengungkap bahwa anak-anak yang memiliki masalah tidur dari usia 3-8 tahun cenderung mengembangkan masalah remaja, seperti penyalahgunaan obat dan depresi di usia dini (dalam Santrock: Wong, Brower, &Zucker, 2009).

Selanjutnya ada pada masalah malasnya berolahraga. Dikarenakan sudah terlalu asyik untuk bermain gadget, biasanya anak-anak malas untuk diajak berolahraga. Karena, merasa game di gadget-nya itu lebih asyik daripada harus berlari atau berpanas-panasan di luar.

Selanjutnya dilihat dari proses belajar anak. Biasanya anak yang sudah terikat oleh gadget itu sulit untuk diajak belajar (meskipun tidak semua anak memiliki gangguan yang sama). Karena saat anak sudah di depan layar gadget, anak hanya akan diam terpaku oleh animasi-animasi dalam game atau aplikasi lainnya di gadget. Pada proses belajar ini, anak-anak akan semakin malas untuk diajak belajar dan dapat berkembang menjadi anak yang mengalami kesulitan belajar (learning disability) yang meliputi pemahaman atau menggunakan bahasa lisan maupun tulisan, dan kesulitan tersebut terlihat dalam hal mendengar, berpikir, membaca, menulis, dan mengeja. Berikut merupakan tiga macam kesulitan tersebut adalah:
  1. Disleksia, yaitu kategori bagi individu yang memiliki gangguan parah dalam hal membaca dan mengeja.
  2. Disgrafia, yaitu kesulitan belajar yang mencakup kesulitan dalam menulis dengan tangan. Anak-anak disgrafia lamban dalam menulis, hasil tulisannya sangat sulit dibaca, dan sering kali membuat kesalahan ejaan karena tidak mampu menyesuaikan bunyi dengan huruf.
  3. Diskalkulia, gangguan yang sering disebut dengan gangguan perkembangan aritmatika, yaitu kesulitan belajar yang terkait dengan perhitungan matematika.

Jadi, untuk para orang tua atau kita yang senang dengan anak-anak. Perhatikanlah apakah si anak tersebut mengalami perkembangan yang baik atau tidak. Baik pada ruang lingkup kognitif, emosi, dan proses sosialnya di lingkungan. Tidak ada pelarangan dalam bermain gadget, tapi akan lebih baik bila orang tua mendampingi dan mengawasi anak dalam bermain gadget dan memperhatikan intensitas waktu yang telah dihabiskan anak dalam bermain gadget. Sudah seharusnya, orang tua menjadi pendamping yang baik untuk anak. Perhatikan perkembangan anak, apakah si anak melewati periode perkembangan sesuai usianya atau tidak. Perhatikan juga jam biologis anak yang seharusnya mereka dapatkan sesuai usianya. Bila ada yang terlewati pada periode seharusnya, maka saat remaja atau dewasa nanti si anak akan mengalami hal-hal yang tidak seharusnya terjadi dan menjadi kebiasaan yang berkelanjutan.







Sumber:

Santrock, John W. 2012. Perkembangan Masa Hidup Edisi Ketigabelas Jilid I. Jakarta: Erlangga.

Senin, 19 Oktober 2015

Apakah Kaitan Antara Psikologi dengan Teknologi Internet?

Selamat menikmati bacaan blog saya, para blogger. Kali ini saya akan membahas tentang kaitan antara ilmu psikologi dengan adanya teknologi internet. Berhubung zaman sekarang adalah zaman era modern, zaman dimana semuanya serba canggih dan manusia semakin lupa dengan lingkungan disekitarnya.
Bila kita perhatikan saat di tempat umum, adakah orang yang mengobrol bertatap muka untuk membahas hal-hal yang sekiranya berita penting di masyarakat? Saya rasa tidak, orang-orang yang memiliki gadget canggih kemungkinan akan berkutat pada layar gadget-nya. Di zaman seperti ini, banyak orang yang apatis terhadap lingkungannya sendiri. Saya ambil contoh, saat saya berada di Angkutan Umum Antar-Kota (angkot), lalu di transportasi lain seperti KRL, dan di tempat lainnya, saya merasa hampir sebagian orang disekitar saya tidak memperdulikan lingkungannya dan lebih memilih untuk setia terhadap gadget-nya. Tidak usah jauh-jauh, saat kalian sedang asyik mengobrol dengan teman kelas kalian. Perhatikan saja, apakah dia menatap wajah langsung atau tatapannya hanya tertuju pada layar gadget-nya? Itu merupakan salah satu tanda bahwa teknologi internet sudah sangat menjiwai para penggunanya. Nah, mungkin teman-teman masih bingung. “Lalu, apa hubungannya psikologi sama internet? Masih bingung deh...”. Baik, saya akan menjelaskan tentang psikologi terlebih dahulu.
Psikologi itu kan ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia dan fungsi mentalnya secara ilmiah. Dan bila kita kaitkan dengan adanya teknologi internet, kita dapat memperhatikan perilaku apa saja yang sekiranya dapat membuat perilaku manusia berubah secara cepat ataupun lambat. Dalam ilmu psikologi, orang yang sudah kecanduan akan gadget-nya masing-masing dan takut dipisahkan dengan gadget-nya dapat disebut dengan Nomophobia (No Mobile No Phone Phobia).
Dewasa ini, banyak usia anak SD yang sudah memiliki gadget canggih keluaran terbaru. Dan dari adanya gadget itulah akan timbul banyak permasalahan baru dalam perilaku anak sehari-hari. Meskipun tidak melulu menimbulkan masalah, gadget juga dapat memberikan manfaat jika intensitas penggunaannya benar. Saya kira, untuk kalangan anak SD masih butuh pendampingan orangtua dalam mengakses internet. Apalagi teknologi zaman sekarang tidak dapat dipredeksi konten apa saja yang akan muncul, yang akan membuat si anak penasaran dengan konten tersebut. Bagus jika kontennya berbobot untuk anak seusianya, tapi bagaimana jika konten tersebut adalah konten yang buruk dan akan mengahancurkan otaknya? Maka dar itu,pendampingan orangtua sangatlah dibutuhkan saat si anak mengakses internet. Orangtua juga harus bisa memberi masukan saat si anak mengakses internet, masukkan yang dimaksud seperti bagaimana cara membuat prakarya dari sisa bahan-bahan bekas? Bukankah itu masukkan yang baik bukan?
Berikut saya akan sedikit menjelaskan apa saja dampak positif dan negatif pada teknologi internet. Dimulai dari dampak positifnya terlebih dahulu:
1. Dari segi pendidikan: siswa dapat mencari bahan untuk mengembangkan ilmu mereka, dapat mencari program beasiswa yang diadakan di seluruh dunia melalui internet, dapat lebih kreatif untuk mengembangakn bakat atau skill.
2. Dari segi ekonomi: semakin mudah untuk melakukan transaksi online, jual-beli online yang dewasa ini semakin pesat perkembangannya.
3. Dari segi sosial: komunikasi dapat terjalin meskipun dengan jarak yang jauh keberadaannya, dapat mengakses berbagai hiburan yang mereka inginkan, dan lain-lain.
Sekarang saya akan menjelaskan dampak negatif yang akan ditimbulkan:
1. Dari segi pendidikan: akan membuat siswa menjadi malas karena merasa mudah dengan adanya internet, bisa tinggal copy-paste. Dan semua tugas akan selesai begitu saja, tanpa harus menelaah terlebih dahulu.
2. Dari segi ekonomi: banyaknya penipuan yang mengatas namakan toko online, maraknya pencurian data perusahaan oleh orang yang tak bertanggung jawab.
3. Dari segi sosial: Banyak orang yang malas bertatap muka langsung, mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat, orang akan lebih individual, apatis dengan lingkungan sekitar, dan anti sosial.
Saat teknologi internet diaskses dengan baik, tentunya akan menghasilkan hal yang baik dan menguntungkan pula untuk kita sebagai penggunanya. Semuanya kembali lagi tentang bagaimana si pengguna mengakses internet tersebut. Oleh sebab itu, kita harus bijak dalam mengakses internet. Entah dalam kontennya, intensitas waktu yang dihabiskan untuk mengakses internet, atau bahkan kita sudah benar-benar lupa akan waktu yang seharusnya kita habiskan dengan orang disekitar kita. Pesan saya, jadilah orang yang bijak dalam berinternet. Selamat malam...

Kamis, 25 Juni 2015

BERPIKIR DAN BERBAHASA PADA ANAK

                

Menurut Behaviorisme, berpikir merupakan penguatan antara stimulus dan respons. Menurut Asosiasionis, berpikir merupakan asosiasi antara tanggapan yang satu dengan yang lain. Dari segi Kognisi, berpikir merupakan pemrosesan informasi dari stimulus yang ada (starting position) sampai ke pemecahan masalah (finishing position atau goal state). Berpikir yang kadangkala dipandang sebagai penalaran, meliputi proses mental yang digunakan untuk membentuk konsep, memecahkan masalah, dan ikut serta melakukan aktivitas-aktivitas kreatif.

Simbol yang digunakan dalam berpikir pada umumnya adalah kata-kata atau bahasa. Bahasa hanya merupakan salah satu alat. Masih ada alat lain, yaitu image (gambaran) atau yang biasa disebut dengan Visual Map/ Cognitive Map. Selanjutnya ada fungsi dari sebuah konsep, menurut Plotnik, yang dijalankan dengan dua macam fungsi, yaitu:
a.      Organize Information:
Konsep yang memungkinkan anak dalam mengelompokkan segala sesuatu ke dalam kategori-kategori dan mengorganisasikannya secara lebih baik kemudian menyimpan informasi tersebut ke dalam memori.
b.      Avoid Relearning:
Anak dapat dengan mudah mengklasifikasikan atau mengelompokkan sesuatu yang baru tanpa mempelajari ulang sesuatu tersebut.

Menurut Walgito (1980: 180) dalam pemecahan masalah, subjek diarahkan untuk mencari pemecahan masalah dan dipacu untuk mencapai pemecahan tersebut. Jadi, pemecahan masalah (problem solving) merupakan tugas subjek untuk menemukan cara memecahkan masalah. Sementara menurut Plotnik, pemecahan masalah meliputi pencarian beberapa aturan (kaidah), rencana atau strategi yang membuat kita berhasil mencapai satu tujuan yang sekarang belum tercapai. Jadi, pemecahan masalah ada dua aturan, yaitu:
a.       Kaidah Algoritma:
Suatu perangkat kaidah atau aturan yang apabila aturan ini diikuti dengan benar, maka akan ada jaminan keberhasilan pemecahan masalah.
b.      Kaidah Horistik:
   Strategi yang didasarkan pada pengalaman dalam menghadapi masalah yang mengarah pada pemecahan masalah, walaupun tidak ada jaminan akan kesuksesan.

Ciri-ciri utama dalam berpikir adalah adanya abstraksi. Abstraksi dalam hal ini berarti anggapan lepasnya kualitas atau relasi dari benda-benda, kejadian-kejadian dan situasi-situasi yang mula-mula dihadapi sebagai kenyataan. Sebagai contoh, kita lihat sebungkus rokok, rokok itu sebuah benda yang konkrit. Jika kita pandang hanya warna bungkus rokok itu, maka warna isi kita lepaskan dari semua yang ada pada sebungkus rokok itu (bentuknya, rasanya, beratnya, baunya, dan sebagainya). Mula-mula warna itu hanya pada benda konkrit yang kita hadapi dan merupakan bagian dari keutuhan yang tidak dapat dilepaskan. Sekarang warna itu sendiri kita pandang, dan kita pisahkan dari keseluruhan bungkus rokok. Dengan demikian dalam arti luas kita dapat mengatakan bahwa berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi. Dalam arti yang sempit, berpikir adalah meletakkan atau mencari hubungan pertalian antara abstraksi-abstraksi. Berpikir erat hubungannya dengan daya-daya jiwa yang lain, seperti dengan tanggapan, ingatan, pengertian, dan perasaan. Tangapan memegang peranan penting dalam berpikir meskipun ada kalanya dapat mengganggu jalannya berpikir.

Ingatan merupakan syarat yang harus ada dalam berpikir, karena memberikan pengalaman-pengalaman dari pengamatan yang telah lampau. Pengertian meskipun hasil berpikir dapat memberi bantuan yang besar pula dalam suatu proses berpikir. Perasaan selalu menyertai pula, ia merupakan dasar yang mendukung suasana hati atau sebagai pemberi keterangan dan ketekunan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah.

Perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa pada anak berjalan secara bersamaan, karena salah satu hasil kemamapuan berpikir adalah berbahasa. Piaget mengelompokkan tahap-tahap perkembangan kognitif menjadi empat tahap, yaitu:
1.       Tahap Sensorimotor (0-2 tahun):
Pada tahap ini, kegiatan intelektual anak hampir seluruhnya merupakan gejala yang diterima secara langsung melalui indera. Pada saat anak mencapai kematangan dan secara perlahan mulai memperoleh keterampilan berbahasa, mereka menerapkannya pada objek-objek yang nyata. Pada tahap ini anak mulai memahami hubungan antara benda dengan nama benda tersebut.
Piaget membagi sensorimotor menjadi enam subtahap, yaitu:
a)      Refleks Sederhana (0-1 bulan)
b)      Kebiasaan (1-4 bulan)
c)       Reproduksi Kejadian yang Menarik(4-8 bulan)
d)      Koordinasi Skemata(8-12 bulan)
e)      Eksperimen (12-18 bulan)
f)       Representasi (18-24 bulan)
2.       Tahap PraOperasional (2-7 tahun):
Perkembangan yang pesat dialami oleh anak pada tahap ini. Anak semakin memahami lambang-lambang bahasa yang digunakan untuk menunjukkan benda-benda. Keputusan yang diambil hanya berdasarkan intuisi, bukan atas dasar analisis rasional. Kesimpulan yang diambil merupakan kesimpulan dari sebagian kecil yang diketahuinya, dari suatu keseluruhan yang besar. Anak akan berpendapat bahwa pesawat terbang berukuran kecil karena itulah yang mereka lihat di langit ketika ada pesawat terbang yang lewat.
3.       Tahap Operasional Konkret (7-11 tahun):
Pada tahap ini anak mulai berpikir logis dan sistematis untuk mencapai pemecahan masalah. Masalah yang dihadapi dalam tahap ini bersifat konkret. Anak akan merasa kesulitan bila menghadapi masalah yang bersifat abstrak. Pada tahap ini anak menyukai soal-soal yang telah tersedia jawabannya.
4.       Tahap Operasional Formal (11 tahun ke atas):
Anak mencapai tahap perkembangan ini ditandai dengan pola pikirnya yang seperti orang dewasa. Anak telah dapat menerapkan cara berpikir terhadap permasalahan yang konkret maupun abstrak. Pada tahap ini anak sudah dapat membentuk ide-ide dan berpikir tentang masa depan secara realistis.
               
Menurut Plotnik (2005: 312), bahasa adalah bentuk komunikasi khusus yang meliputi penggunaan kaidah-kaidah pembelajaran yang kompleks untuk menyusun dan mengombinasikan simbol-simbol (kata-kata atau gerak isyarat) ke dalam sejumlah tak terbatas kalimat-kalimat yang bermakna. Sistem-sistem aturan bahasa, meliputi:
a.  Fonologi, yaitu satuan bunyi terkecil yang terdapat dalam bahasa.
b. Morfologi, yaitu sistem mengenai satuan-satuan bermakna yang digunakan untuk membentuk kata.
c.  Sintaksis, yaitu sistem mengenai cara mengombinasikan kata-kata untuk membentuk frase dan kalimat yang masuk akal.
d.  Semantik, yaitu sistem mengenai makna kata atau kalimat.
e.  Pragmatik, yaitu sistem mengenai cara menggunakan percakapan yang sesuai dan pengetahuan mengenai cara menggunakan bahasa secara efektif sesuai konteksnya.
               
Menurut Pinker (1994) dalam kenyataannya perkembangan bahasa semua anak tidak tergantung budaya atau bahasa, melewati tahap-tahap yang sama, yaitu: Babbling (ocehan atau celotehan), Single Word (kata tunggal), Two-Word Combinations (kombinasi dua kata), Sentences (kalimat-kalimat).

Gangguan keterlambatan bicara adalah istilah yang dipergunakan untuk mendeskripsikan adanya hambatan pada kemampuan bicara dan perkembangan bahasa pada anak-anak, tanpa disertai keterlambatan aspek perkembangan lainnya. Pada umumnya mereka mempunyai perkembangan intelegensi dan sosial-emosional yang normal. Menurut penelitian, problem ini terjadi atau dialami 5-10% anak-anak usia prasekolah dan lebih cenderung dialami oleh anak laki-laki dari pada perempuan.  Pada kasus-kasus tertentu, hambatan berbicara  dan berbahasa terlihat dari adanya hambatan dalam menulis. Adapun penyebab dari keterlambatan bicara ini disebabkan oleh beragam faktor, seperti:
1.   Hambatan Pendengaran
Pada beberapa kasus, hambatan pada pendengaran berkaitan dengan keterlambatan bicara. Jika si anak mengalami kesulitan pendengaran, maka dia akan mengalami hambatan pula dalam memahami, meniru dan menggunakan bahasa. Salah satu penyebab gangguan pendengaran anak adalah karena adanya infeksi telinga.
2. Hambatan Perkembangan pada Otak yang Menguasai Kemampuan Oral-Motor
Ada kasus keterlambatan bicara yang disebabkan adanya masalah pada area oral-motor di otak sehingga kondisi ini menyebabkan terjadinya ketidakefisienan hubungan di daerah otak yang bertanggung jawab menghasilkan bicara. Akibatnya, si anak mengalami kesulitan menggunakan bibir, lidah bahkan rahangnya untuk menghasilkan bunyi kata tertentu.
3.    Masalah Keturunan
Masalah keturunan sejauh ini belum banyak diteliti korelasinya dengan etiologi dari hambatan pendengaran. Namun, sejumlah fakta menunjukkan pula bahwa pada beberapa kasus di mana seorang anak anak mengalami keterlambatan bicara, ditemukan adanya kasus serupa pada generasi sebelumnya atau pada keluarganya. Dengan demikian kesimpulan sementara hanya menunjukkan adanya kemungkinan masalah keturunan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi.
4.    Masalah Pembelajaran dan Komunikasi dengan Orang Tua
Masalah komunikasi dan interaksi dengan orang tua tanpa disadari memiliki peran yang penting dalam membuat anak mempunyai kemampuan berbicara dan berbahasa yang tinggi. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa cara mereka berkomunikasi dengan si anak lah yang juga membuat anak tidak punya banyak perbendaharaan kata-kata, kurang dipacu untuk berpikir logis, analisa atau membuat kesimpulan dari kalimat-kalimat yang sangat sederhana sekali pun. Sering orang tua malas mengajak anaknya bicara panjang lebar dan hanya bicara satu dua patah kata saja yang isinya instruksi atau jawaban sangat singkat. Selain itu, anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri sejak dini (lebih banyak menjadi pendengar pasif) karena orang tua terlalu memaksakan dan "memasukkan" segala instruksi, pandangan mereka sendiri atau keinginan mereka sendiri tanpa memberi kesempatan pada anaknya untuk memberi umpan balik, juga menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan bicara, menggunakan kalimat dan berbahasa.
5.    Faktor Televisi
Anak batita yang banyak nonton TV cenderung akan menjadi pendengar pasif, hanya menerima tanpa harus mencerna dan memproses informasi yang masuk. Belum lagi suguhan yang ditayangkan berisi adegan-adegan yang seringkali tidak dimengerti oleh anak dan bahkan sebenarnya traumatis (karena menyaksikan adegan perkelahian, kekerasan, seksual, atau pun acara yang tidak disangka memberi kesan yang mendalam karena egosentrisme yang kuat pada anak dan karena kemampuan kognitif yang masih belum berkembang). Akibatnya, dalam jangka waktu tertentu yang mana seharusnya otak mendapat banyak stimulasi dari lingkungan/orang tua untuk kemudian memberikan feedback kembali, namun karena yang lebih banyak memberikan stimulasi adalah televisi (yang tidak membutuhkan respon apa-apa dari penontonnya), maka sel-sel otak yang mengurusi masalah bahasa dan bicara akan terhambat perkembangannya.



Sumber:
- Basuki, H. (2008). Psikologi Umum. Jakarta: Universitas Gunadarma.
- Mulyani Sumantri dan Nana Syaodih. (2006). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Universitas Terbuka.
- Santrock, W. John. (2012). Life Span Development-13th ed.. Jakarta: Erlangga.


Minggu, 07 Juni 2015

Persiapan Pembuatan Film Pendek

Saat Latihan Menari Saman
Pada postingan kali ini, saya akan memposting kegiatan dan persiapan saya bersama teman-teman kelompok dalam pembuatan film pendek untuk memenuhi tugas softskill yang bertema penunjukkan keberbakatan dalam diri setiap individu. Dalam pembuatan film ini, saya bekerja sama dengan rekan saya yang lain, yaitu: Andisa Putri Aulia, Hikman Tartila, Putri Elena Safitri, dan Saras Zettira Pratiwi.
Dalam film ini, saya yang cenderung lebih menyukai puisi dan cukup suka memasak akan mencoba untuk menari. Sedangkan Andisa yang terbiasa menari dan menyanyi, Putri terbiasa untuk menari dan berakting, lalu Zettira yang terbiasa menyanyi pun akan mencoba untuk menari dalam film ini. Dan Hikman, dalam kesempatan kali ini berperan sebagai sutradara sekaligus editor pembuatan film pendek. 
Tempat yang kami jadikan lokasi syuting yaitu berlokasi di Kota Bogor dan sekitar Kota Depok. Pada wilayah Bogor berlokasi di Taman Sempur, SMA YPHB Bogor, sekitar Stasiun Bogor, dan pedestrian wilayah Kota Bogor. Pada wilayah Depok berlokasi di Stasiun Pondok Cina dan kampus Gunadarma, dan halte UI.
Selama proses syuting pasti selalu ada bagian-bagian yang cukup sulit untuk dihilangkan, terutama tertawa. Saat diantara kami ada yang salah atau lupa script, pasti ingin saja tertawa dan terkadang salah gerakan saat diharuskan melakukan gerakan yang sama. Namun, proses tersebut sangat mengasyikan untuk kami. Kami harap dari film pendek tersebut akan ada hal positif yang dapat dipetik oleh teman-teman lainnya dan semoga terhibur dengan penayangan film pendek kami tersebut. Sekian, terimakasih............

Jumat, 24 April 2015

Apakah Bakat Saya yang Sebenarnya?

Selamat siang kawan-kawan pembaca blog. Pada kesempatan kali ini, saya akan menuliskan tentang menggali bakat dalam diri kita sendiri. Tapi sebenarnya, saya pun masih bingung hingga detik ini akan bakat saya yang sebenarnya. Karena, saya merupakan orang yang terbilang 'penasaran' akan hal-hal baru dan unik. Sebenarnya saya sangat tertarik untuk bermain alat musik, contohnya gitar. Saya selalu penasaran terhadap orang-orang yang mahir bermain gitar. Penasaran dari awal bagaimana dia bisa bermain gitar atau alat-alat musik lainnya secara baik. Sempat terpikir oleh saya sendiri, "Kapan ya saya bisa bermain gitar se-keren itu?". Saya penasaran, bahkan ketika saya ke toko buku, saya mencoba untuk membeli buku tutorial bermain gitar dan gitar yang saya gunakan adalah gitar milik paman saya. Awalnya, saya dibuatkan gambarannya langsung oleh paman saya, lalu saya latihan. Tapi karena sudah jarang memainkan gitar, sekarang saya  lupa lagi kunci-kunci gitarnya. Selain penasaran dalam bermain alat musik, saya cukup senang dalam menulis. Ya, meskipun tulisan atau rangkaian kata yang saya buat kurang bagus. Tapi, saya senang saat pensil atau pulpen telah menyatu dengan kertas. Kadang, untaian kata itu terangkai sendiri dalam pikiran saya dan dapat menjadi cerita yang kadang tidak jelas alurnya. Awalnya saya suka dengan buku atau kumpulan puisi yang kata-katanya puitis dan bahkan saya kurang paham akan maknanya. Tapi saya menyukai hal tersebut. Saya kira cukup sekian penulisan blog kali ini. Semoga kawan-kawan semuanya dapat mengembangkan bakat yang kawan-kawan miliki.

Sabtu, 18 April 2015

Apa Perbedaan Bakat Dan Kreativitas?

Pada tulisan kali ini penulis akan menulis tentang perbedaan bakat dan kreativitas. Sebelumnya, penulis menulis di blog ini untuk memenuhi tugas Softskill.

Pada dasarnya belum terdapat pengertian yang sama tentang keberbakatan dari beberapa ahli. Hagen dan Hollingworth (dalam Hawadi, 2002) membedakan antara gifted dan talented. Gifted ditujukan pada individu dengan kemampuan unggul dibidang seni, musik, dan drama. Kemudian Cutts dan Musseley (1957 dalam Hawadi, 2002) membedakan antara bright dengan gifted dan talented. Menurut kedua tokoh tersebut, bright diartikan individu yang mampu menempuh pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas (kolese) dan lancar dalam karier yang dipilihnya. Gifted diartikan individu yang memiliki potensi yang lebih tinggi daripada individu dengan tingkat bright, sedang talented menunjuk pada individu yang memiliki kemampuan tidak lazim (luar biasa dibidang akademis, tanda umum adalah adanya kemampuan yang tergolong superior).

Pandangan yang terbaru mempersepsikan keberbakatan tidak hanya dari satu segi saja yaitu kemampuan intelektual, tetapi juga dari segi lain atau kemampuan lain, misalnya kreativitas, seni, olahraga, dan lain-lain. Pandangan terakhir tersebut dikategorikan dalam pendekatan yang menggunakan kriteria majemuk atau multi-kriteria. Contoh pandangan yang menggunakan pendekatan tersebut adalah pandangan USEO (United States Office of Education) dan pandangan Renzulli.

Sedangkan kreativitas secara konvensional didefinisikan dengan pendekatan tiga P, yaitu pribadi yang  kreatif, proses kreatif, dan produk kreatif (Barron 1988 dalam Davis 1993: 39). Santrock (2008:366) kreativitas ialah kemampuan berpikir tentang sesuatu dengan cara baru dan tak biasa dan menghasilkan solusi yang unik atas suatu problem. Selain itu Samsunuwiyati (2010:175)  berpendapat bahwa kreativitas merupakan konsep yang majemuk dan multi-dimensional, sehingga sulit didefinisikan secara operasional.

Kreativitas membutuhkan rangsangan dari lingkungan untuk berkembang secara optimal. Beberapa faktor yang menentukan adalah:
1.     Kebebasan: orang tua yang percaya untuk memberikan kebebasan kepada anak.
2. Respek: orang tua yang menghormati anaknya sebagai individu, percaya akan kemampuan anak mereka, dan menghargai keunikan anak mereka.
3.     Kedekatan emosi yang sedang: kreativitas akan dapat dihambat dengan suasana emosi yang mencerminkan rasa permusuhan, penolakan, atau rasa terpisah.
4.   Prestasi bukan angka: orang tua anak kreatif menghargai prestasi anak, mendorong anak untuk berusaha sebaik-baiknya, dan menghasilkan karya-karya yang baik.
5.     Orang tua aktif dan mandiri: sikap orang tua terhadap diri sendiri amat penting karena orang tua merupakan model bagi anak.
6.     Menghargai kreativitas: anak yang kreatif memperoleh banyak dorongan dari orang tua untuk melakukan hal-hal yang kreatif.

Kendala terhadap produktivitas kreatif dapat bersifat internal, yaitu berasal dari individu itu sendiri. Dapat pula bersifat eksternal, yaitu terletak pada lingkungan individu, baik lingkungan makro maupun lingkungan mikro. Kendala internal yaitu keyakinan bahwa lingkunganlah yang menyebabkan dirinya tidak mempunyai kesempatan mengembangkan kreativitasnya. Kendala eksternal antara lain yaitu tentang evaluasi, pujian, perasaan diamati selagi mengerjakan sesuatu, pemberian hadiah dan persaingan.

Menurut Utami Munandar (2009:71) kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk mengekspresikan ide-ide baru yang ada dalam dirinya sendiri. Adapun ciri-ciri dari kreativitas adalah:
1.      Rasa ingin tahu yang luas dan mendalam
2.     Sering mengajukan  pertanyaan yang baik
3.     Memberikan banyak gagasan atau usul terhadap suatu masalah
4.     Bebas dalam menyatakan pendapat
5.     Mempunyai rasa keindahan yang dalam
6.     Menonjol dalam salah satu bidang seni
7.     Mampu melihat suatu masalah dari berbagai segi/sudut pandang
8.     Mempunyai rasa humor yang luas
9.     Mempunyai daya imajinasi
10.                        Orisinal dalam ungkapan gagasan dan dalam pemecahan masalah

Jadi, bakat dan kreativitas adalah saling berkaitan satu sama lain. Kebutuhan sosial akan kreativitas dirasakan di mana-mana dan tampak dalam sistem pendidikan, penggunaan waktu luang, pengembangan ilmu pengetahuan dan kehidupan keluarga. Makna dari pengembangan kreativitas berkaitan dengan kualitas perwujudan diri, peningkatan kemampuan berpikir kreatif, kepuasan dalam mencipta, dan peningkatan kualitas hidup. Sikap orang tua dalam mendukung kreativitas anak juga sangat diperlukan dengan menyediakan sarana pendukung dan motivasi serta mengembangkan hobi dalam keluarganya masing-masing. Dalam kegiatan pembelajaran guru harus senantiasa berusaha memikirkan bagaimana cara menumbuhkan kreativitas siswa dalam belajar, dengan mempertimbangkan tahap-tahap munculnya kreativitas (persiapan, inkubasi, iluminasi, verifikasi).


Sumber: