Kamis, 25 Juni 2015

BERPIKIR DAN BERBAHASA PADA ANAK

                

Menurut Behaviorisme, berpikir merupakan penguatan antara stimulus dan respons. Menurut Asosiasionis, berpikir merupakan asosiasi antara tanggapan yang satu dengan yang lain. Dari segi Kognisi, berpikir merupakan pemrosesan informasi dari stimulus yang ada (starting position) sampai ke pemecahan masalah (finishing position atau goal state). Berpikir yang kadangkala dipandang sebagai penalaran, meliputi proses mental yang digunakan untuk membentuk konsep, memecahkan masalah, dan ikut serta melakukan aktivitas-aktivitas kreatif.

Simbol yang digunakan dalam berpikir pada umumnya adalah kata-kata atau bahasa. Bahasa hanya merupakan salah satu alat. Masih ada alat lain, yaitu image (gambaran) atau yang biasa disebut dengan Visual Map/ Cognitive Map. Selanjutnya ada fungsi dari sebuah konsep, menurut Plotnik, yang dijalankan dengan dua macam fungsi, yaitu:
a.      Organize Information:
Konsep yang memungkinkan anak dalam mengelompokkan segala sesuatu ke dalam kategori-kategori dan mengorganisasikannya secara lebih baik kemudian menyimpan informasi tersebut ke dalam memori.
b.      Avoid Relearning:
Anak dapat dengan mudah mengklasifikasikan atau mengelompokkan sesuatu yang baru tanpa mempelajari ulang sesuatu tersebut.

Menurut Walgito (1980: 180) dalam pemecahan masalah, subjek diarahkan untuk mencari pemecahan masalah dan dipacu untuk mencapai pemecahan tersebut. Jadi, pemecahan masalah (problem solving) merupakan tugas subjek untuk menemukan cara memecahkan masalah. Sementara menurut Plotnik, pemecahan masalah meliputi pencarian beberapa aturan (kaidah), rencana atau strategi yang membuat kita berhasil mencapai satu tujuan yang sekarang belum tercapai. Jadi, pemecahan masalah ada dua aturan, yaitu:
a.       Kaidah Algoritma:
Suatu perangkat kaidah atau aturan yang apabila aturan ini diikuti dengan benar, maka akan ada jaminan keberhasilan pemecahan masalah.
b.      Kaidah Horistik:
   Strategi yang didasarkan pada pengalaman dalam menghadapi masalah yang mengarah pada pemecahan masalah, walaupun tidak ada jaminan akan kesuksesan.

Ciri-ciri utama dalam berpikir adalah adanya abstraksi. Abstraksi dalam hal ini berarti anggapan lepasnya kualitas atau relasi dari benda-benda, kejadian-kejadian dan situasi-situasi yang mula-mula dihadapi sebagai kenyataan. Sebagai contoh, kita lihat sebungkus rokok, rokok itu sebuah benda yang konkrit. Jika kita pandang hanya warna bungkus rokok itu, maka warna isi kita lepaskan dari semua yang ada pada sebungkus rokok itu (bentuknya, rasanya, beratnya, baunya, dan sebagainya). Mula-mula warna itu hanya pada benda konkrit yang kita hadapi dan merupakan bagian dari keutuhan yang tidak dapat dilepaskan. Sekarang warna itu sendiri kita pandang, dan kita pisahkan dari keseluruhan bungkus rokok. Dengan demikian dalam arti luas kita dapat mengatakan bahwa berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi. Dalam arti yang sempit, berpikir adalah meletakkan atau mencari hubungan pertalian antara abstraksi-abstraksi. Berpikir erat hubungannya dengan daya-daya jiwa yang lain, seperti dengan tanggapan, ingatan, pengertian, dan perasaan. Tangapan memegang peranan penting dalam berpikir meskipun ada kalanya dapat mengganggu jalannya berpikir.

Ingatan merupakan syarat yang harus ada dalam berpikir, karena memberikan pengalaman-pengalaman dari pengamatan yang telah lampau. Pengertian meskipun hasil berpikir dapat memberi bantuan yang besar pula dalam suatu proses berpikir. Perasaan selalu menyertai pula, ia merupakan dasar yang mendukung suasana hati atau sebagai pemberi keterangan dan ketekunan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah.

Perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa pada anak berjalan secara bersamaan, karena salah satu hasil kemamapuan berpikir adalah berbahasa. Piaget mengelompokkan tahap-tahap perkembangan kognitif menjadi empat tahap, yaitu:
1.       Tahap Sensorimotor (0-2 tahun):
Pada tahap ini, kegiatan intelektual anak hampir seluruhnya merupakan gejala yang diterima secara langsung melalui indera. Pada saat anak mencapai kematangan dan secara perlahan mulai memperoleh keterampilan berbahasa, mereka menerapkannya pada objek-objek yang nyata. Pada tahap ini anak mulai memahami hubungan antara benda dengan nama benda tersebut.
Piaget membagi sensorimotor menjadi enam subtahap, yaitu:
a)      Refleks Sederhana (0-1 bulan)
b)      Kebiasaan (1-4 bulan)
c)       Reproduksi Kejadian yang Menarik(4-8 bulan)
d)      Koordinasi Skemata(8-12 bulan)
e)      Eksperimen (12-18 bulan)
f)       Representasi (18-24 bulan)
2.       Tahap PraOperasional (2-7 tahun):
Perkembangan yang pesat dialami oleh anak pada tahap ini. Anak semakin memahami lambang-lambang bahasa yang digunakan untuk menunjukkan benda-benda. Keputusan yang diambil hanya berdasarkan intuisi, bukan atas dasar analisis rasional. Kesimpulan yang diambil merupakan kesimpulan dari sebagian kecil yang diketahuinya, dari suatu keseluruhan yang besar. Anak akan berpendapat bahwa pesawat terbang berukuran kecil karena itulah yang mereka lihat di langit ketika ada pesawat terbang yang lewat.
3.       Tahap Operasional Konkret (7-11 tahun):
Pada tahap ini anak mulai berpikir logis dan sistematis untuk mencapai pemecahan masalah. Masalah yang dihadapi dalam tahap ini bersifat konkret. Anak akan merasa kesulitan bila menghadapi masalah yang bersifat abstrak. Pada tahap ini anak menyukai soal-soal yang telah tersedia jawabannya.
4.       Tahap Operasional Formal (11 tahun ke atas):
Anak mencapai tahap perkembangan ini ditandai dengan pola pikirnya yang seperti orang dewasa. Anak telah dapat menerapkan cara berpikir terhadap permasalahan yang konkret maupun abstrak. Pada tahap ini anak sudah dapat membentuk ide-ide dan berpikir tentang masa depan secara realistis.
               
Menurut Plotnik (2005: 312), bahasa adalah bentuk komunikasi khusus yang meliputi penggunaan kaidah-kaidah pembelajaran yang kompleks untuk menyusun dan mengombinasikan simbol-simbol (kata-kata atau gerak isyarat) ke dalam sejumlah tak terbatas kalimat-kalimat yang bermakna. Sistem-sistem aturan bahasa, meliputi:
a.  Fonologi, yaitu satuan bunyi terkecil yang terdapat dalam bahasa.
b. Morfologi, yaitu sistem mengenai satuan-satuan bermakna yang digunakan untuk membentuk kata.
c.  Sintaksis, yaitu sistem mengenai cara mengombinasikan kata-kata untuk membentuk frase dan kalimat yang masuk akal.
d.  Semantik, yaitu sistem mengenai makna kata atau kalimat.
e.  Pragmatik, yaitu sistem mengenai cara menggunakan percakapan yang sesuai dan pengetahuan mengenai cara menggunakan bahasa secara efektif sesuai konteksnya.
               
Menurut Pinker (1994) dalam kenyataannya perkembangan bahasa semua anak tidak tergantung budaya atau bahasa, melewati tahap-tahap yang sama, yaitu: Babbling (ocehan atau celotehan), Single Word (kata tunggal), Two-Word Combinations (kombinasi dua kata), Sentences (kalimat-kalimat).

Gangguan keterlambatan bicara adalah istilah yang dipergunakan untuk mendeskripsikan adanya hambatan pada kemampuan bicara dan perkembangan bahasa pada anak-anak, tanpa disertai keterlambatan aspek perkembangan lainnya. Pada umumnya mereka mempunyai perkembangan intelegensi dan sosial-emosional yang normal. Menurut penelitian, problem ini terjadi atau dialami 5-10% anak-anak usia prasekolah dan lebih cenderung dialami oleh anak laki-laki dari pada perempuan.  Pada kasus-kasus tertentu, hambatan berbicara  dan berbahasa terlihat dari adanya hambatan dalam menulis. Adapun penyebab dari keterlambatan bicara ini disebabkan oleh beragam faktor, seperti:
1.   Hambatan Pendengaran
Pada beberapa kasus, hambatan pada pendengaran berkaitan dengan keterlambatan bicara. Jika si anak mengalami kesulitan pendengaran, maka dia akan mengalami hambatan pula dalam memahami, meniru dan menggunakan bahasa. Salah satu penyebab gangguan pendengaran anak adalah karena adanya infeksi telinga.
2. Hambatan Perkembangan pada Otak yang Menguasai Kemampuan Oral-Motor
Ada kasus keterlambatan bicara yang disebabkan adanya masalah pada area oral-motor di otak sehingga kondisi ini menyebabkan terjadinya ketidakefisienan hubungan di daerah otak yang bertanggung jawab menghasilkan bicara. Akibatnya, si anak mengalami kesulitan menggunakan bibir, lidah bahkan rahangnya untuk menghasilkan bunyi kata tertentu.
3.    Masalah Keturunan
Masalah keturunan sejauh ini belum banyak diteliti korelasinya dengan etiologi dari hambatan pendengaran. Namun, sejumlah fakta menunjukkan pula bahwa pada beberapa kasus di mana seorang anak anak mengalami keterlambatan bicara, ditemukan adanya kasus serupa pada generasi sebelumnya atau pada keluarganya. Dengan demikian kesimpulan sementara hanya menunjukkan adanya kemungkinan masalah keturunan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi.
4.    Masalah Pembelajaran dan Komunikasi dengan Orang Tua
Masalah komunikasi dan interaksi dengan orang tua tanpa disadari memiliki peran yang penting dalam membuat anak mempunyai kemampuan berbicara dan berbahasa yang tinggi. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa cara mereka berkomunikasi dengan si anak lah yang juga membuat anak tidak punya banyak perbendaharaan kata-kata, kurang dipacu untuk berpikir logis, analisa atau membuat kesimpulan dari kalimat-kalimat yang sangat sederhana sekali pun. Sering orang tua malas mengajak anaknya bicara panjang lebar dan hanya bicara satu dua patah kata saja yang isinya instruksi atau jawaban sangat singkat. Selain itu, anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri sejak dini (lebih banyak menjadi pendengar pasif) karena orang tua terlalu memaksakan dan "memasukkan" segala instruksi, pandangan mereka sendiri atau keinginan mereka sendiri tanpa memberi kesempatan pada anaknya untuk memberi umpan balik, juga menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan bicara, menggunakan kalimat dan berbahasa.
5.    Faktor Televisi
Anak batita yang banyak nonton TV cenderung akan menjadi pendengar pasif, hanya menerima tanpa harus mencerna dan memproses informasi yang masuk. Belum lagi suguhan yang ditayangkan berisi adegan-adegan yang seringkali tidak dimengerti oleh anak dan bahkan sebenarnya traumatis (karena menyaksikan adegan perkelahian, kekerasan, seksual, atau pun acara yang tidak disangka memberi kesan yang mendalam karena egosentrisme yang kuat pada anak dan karena kemampuan kognitif yang masih belum berkembang). Akibatnya, dalam jangka waktu tertentu yang mana seharusnya otak mendapat banyak stimulasi dari lingkungan/orang tua untuk kemudian memberikan feedback kembali, namun karena yang lebih banyak memberikan stimulasi adalah televisi (yang tidak membutuhkan respon apa-apa dari penontonnya), maka sel-sel otak yang mengurusi masalah bahasa dan bicara akan terhambat perkembangannya.



Sumber:
- Basuki, H. (2008). Psikologi Umum. Jakarta: Universitas Gunadarma.
- Mulyani Sumantri dan Nana Syaodih. (2006). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Universitas Terbuka.
- Santrock, W. John. (2012). Life Span Development-13th ed.. Jakarta: Erlangga.


Minggu, 07 Juni 2015

Persiapan Pembuatan Film Pendek

Saat Latihan Menari Saman
Pada postingan kali ini, saya akan memposting kegiatan dan persiapan saya bersama teman-teman kelompok dalam pembuatan film pendek untuk memenuhi tugas softskill yang bertema penunjukkan keberbakatan dalam diri setiap individu. Dalam pembuatan film ini, saya bekerja sama dengan rekan saya yang lain, yaitu: Andisa Putri Aulia, Hikman Tartila, Putri Elena Safitri, dan Saras Zettira Pratiwi.
Dalam film ini, saya yang cenderung lebih menyukai puisi dan cukup suka memasak akan mencoba untuk menari. Sedangkan Andisa yang terbiasa menari dan menyanyi, Putri terbiasa untuk menari dan berakting, lalu Zettira yang terbiasa menyanyi pun akan mencoba untuk menari dalam film ini. Dan Hikman, dalam kesempatan kali ini berperan sebagai sutradara sekaligus editor pembuatan film pendek. 
Tempat yang kami jadikan lokasi syuting yaitu berlokasi di Kota Bogor dan sekitar Kota Depok. Pada wilayah Bogor berlokasi di Taman Sempur, SMA YPHB Bogor, sekitar Stasiun Bogor, dan pedestrian wilayah Kota Bogor. Pada wilayah Depok berlokasi di Stasiun Pondok Cina dan kampus Gunadarma, dan halte UI.
Selama proses syuting pasti selalu ada bagian-bagian yang cukup sulit untuk dihilangkan, terutama tertawa. Saat diantara kami ada yang salah atau lupa script, pasti ingin saja tertawa dan terkadang salah gerakan saat diharuskan melakukan gerakan yang sama. Namun, proses tersebut sangat mengasyikan untuk kami. Kami harap dari film pendek tersebut akan ada hal positif yang dapat dipetik oleh teman-teman lainnya dan semoga terhibur dengan penayangan film pendek kami tersebut. Sekian, terimakasih............